Rupiah Lanjutkan Penguatan Pagi Ini, Jadi Rp 16.674 per Dolar AS
- account_circle -
- calendar_month Sen, 10 Nov 2025
- comment 0 komentar

ILUSTRASI: Rupiah ditutup melemah pada perdagangan hari ini.
JAMBISNIS.COM – Rupiah melanjutkan tren penguatannya. Pada pembukaan perdagangan pagi ini, Senin (10/11/2025), nilai tukar rupiah menguat sebesar 16 poin atau 0,10 persen menjadi Rp16.674 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.690 per dolar AS.
Sementara itu, dolar AS bertahan stabil pada perdagangan awal Asia setelah serangkaian data ekonomi yang lemah memicu kekhawatiran pertumbuhan global.
Namun, tanda-tanda bahwa Kongres AS semakin dekat mencapai kesepakatan untuk membuka kembali pemerintahan federal meredam permintaan safe haven terhadap greenback.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama, naik 0,2% ke 99,740, menghentikan tren penurunan selama tiga hari, seiring yen dan euro melemah.
Pemimpin Mayoritas Senat, John Thune, mengatakan pembicaraan bipartisan di Senat untuk mengakhiri shutdown federal menunjukkan arah positif, dengan rencana pemungutan suara untuk membuka kembali pemerintahan hingga Januari 2026.
“Ini terjadi tepat pada waktunya,” kata Tony Sycamore, analis pasar IG, Sydney dikutip dari Kontan, Senin (10/11/2025).
“Koreksi dolar AS yang terjadi akhir pekan lalu kemungkinan akan mereda sekarang,” lanjutnya.
Pergerakan Dolar terhadap Mata Uang Lain
– Dolar/Yen: 153,82, naik 0,3%
– Euro/USD: $1,155, turun 0,1%
– Sterling/USD: $1,314, turun 0,2%
– Yuan offshore/USD: 7,1261, stabil
– Dolar Australia/USD: $0,6502, naik 0,1%
– Dolar Selandia Baru/USD: $0,56265, turun 0,1%
Kenaikan dolar terhadap yen terjadi setelah komentar Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, yang menyatakan pemerintah akan mengubah target fiskal tahunan menjadi ukuran pengeluaran beberapa tahun, sehingga melemahkan komitmen konsolidasi fiskal. Bank of Japan juga mencatat bahwa kabut ketidakpastian ekonomi Jepang mulai memudar dibandingkan Juli lalu.
Trader menilai dampak kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump, yang memicu percepatan produksi awal tahun menjelang tenggat tarif impor.
Data akhir pekan menunjukkan inflasi harga konsumen China naik lebih cepat dari perkiraan, menyusul laporan penurunan ekspor terbesar sejak Februari.
Menurut Eric Robertsen, kepala riset global Standard Chartered Bank, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan melambat kembali setelah front-loading ekspor selesai. Dengan siklus penurunan suku bunga hampir tuntas, aliran modal ke aset lokal diperkirakan melambat.
“Ada risiko likuiditas global yang melimpah pada 2025 menjadi kurang mendukung aset global pada 2026, yang dapat mendorong penguatan dolar AS dalam 12 bulan ke depan,” ujarnya.(*)
- Penulis: -

Saat ini belum ada komentar